UMK – Nusakambangan, sebuah pulau yang terletak di selatan Pulau Jawa, termasuk dalam Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Pulau yang tidak semua orang bisa memasukinya. Kalau mendengar nama pulau ini, kesan pertama terlihat mengerikan karena pulau ini banyak di huni oleh para narapidana.
Sungguh beruntung, setelah menempuh 7 jam perjalanan pada Jumat, 8 Januari 2016 para mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus dapat berkunjung, bertemu dengan penghuni lapas dalam kegiatan kuliah lapangan psikologi kriminologi yang di dampingi oleh dosen pembimbing, M. Widjanarko S.Psi, M.Si. Jam 09:00 kami sudah di Pelabuhan Wijayapura, pelabuhan khusus yang dapat menghubungkan ke pulau Nusakambangan tersebut.
Untuk mencapai pulau Nusakambangan kami harus menyeberang dahulu menggunakan kapal feri yang menjadi tanggungjawab Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kantor Wilayah Jawa Tengah. Feri ini khusus untuk kepentingan transportasi pemindahan narapidana dan juga melayani kebutuhan transportasi pegawai LP itu sendiri beserta keluarganya. Kurang lebih selama sepuluh menit kami menyeberangi laut pembatas dan bersandar di Pulau Nusakambangan.
Sesampainya di Lapas Batu kami bertemu dengan beberapa petugas salah satunya Bapak Totok Budiyanto, Amd.IP, SH yang kemudian menjelaskan dengan detail kondisi lapas, fasilitas dan komposisi narapidana yang ada di pulau Nusakambangan. Selain itu, kami juga di jelaskan mengenai kasus para narapidana yang mendapatkan hukuman mati atau hukuman seumur hidup dan di tambah lagi mengenai tata cara berbicara dengan narapidana, baik itu dengan narapidana hukuman mati atau narapidana seumur hidup.
“Boleh bertanya kepada saudara kita yang berada di sini, tetapi kita harus menjaga perasaan saudara kita, jadi kalau bertanya yang hati-hati jangan membuat saudara kita sakit hati, kita harus ikut menjaga kondisi psikologisnya apalagi saudara kita yang sudah mendapat hukuman mati,” pesan pak Ali, salah satu petugas yang mendampingi bidang keagamaan di Lapas Nusakambangan.
Kami akhirnya bisa dan diperbolehkan bertemu dan berbincang dengan para penghuni lapas. Salah satunya bernama Majid (nama samaran), bapak dua anak ini adalah seorang narapidana hukuman seumur hidup, laki-laki berusia 40 tahun ini kelahiran Bandung berada di Nusakambangan kesalahan pengedaran narkotika. Bisnis kelam yang di jalaninya mengirim “barangnya” keluar negeri seperti segi tiga emas (Thailand,Vietnam, dan Laos), di tangkap di bandara Soekarno Harta saat mau melaksanakan transaksi jual beli ke Hongkong.
Majid awalnya dijatuhi hukuman mati di pengadilan Tangerang tahun 2000 dan dikuatkan hingga putusan kasasi MA yang dijatuhkan pada 18 April 2001. Masa tahanan dilapas Tangerang selama 4 bulan merupakan masa yang paling sulit bagi Majid, Saat itu yang terlintas pertama kali ketika hakim memukul palu dengan vonis hukuman mati adalah kedua anaknya, ia menjadi tidak berdaya dan merasa bahwa inilah akhir dari hidupnya. “Saat itu saya lemas sekali, saya merasa tak ada harapan untuk hidup ya mungkin ini akhir dari hidup saya. Saya terus memikirkan kedua anak saya yang masih kecil-kecil. Hukuman mati membuat saya stres berat, saya sangat tertutup dari siapapun. Sampai saat, saya mendapatkan grasi dari presiden hukuman seumur hidup membuat saya mempunyai harapan dan sangat terbuka dengan orang lain. Bahkan saya sangat bersyukur mungkin jika saya tidak dapat grasi, hidup saya akan penuh dengan penyesalan dan mati dalam keadaan belum bertaubat, inilah cara Allah menunjukkan kasih sayangnya kepada saya, ” Jelasnya.
Menurutnya, ia tidak mengeluh malah bersyukur bisa berada di Nusakambangan, ‘Jika saya tidak tertangkap, masih menjalankan bisnis itu, di sini saya banyak belajar mengenai kesabaran, memantapkan diri dan lebih religius lagi”. Pesannya kepada kami, ketika kami berpamitan,” Jangan terlibat dalam bisnis narkoba, jalani hidup dengan hal yang baik”.
Salah seorang teman, Islah mendapatkan kesempatan wawancara dengan Somad (nama samaran), pria berusia 37 tahun dengan kasus perampokan dan pembunuhan serta mendapat vonis hukuman mati. Dari tahun 2006 sampai sekarang ini sudah menjalani aktivitas-aktivitas di dalam Nusakambangan, banyak perubahan yang signifikan pada diri Somad setelah mendapatkan pendampingan petugas di Nusakambangan. Setelah dipindahkan ke LP Nusakambangan, tidak membuat Somad putus asa untuk mengajukan keringanan vonis yang dijatuhkannya dalam bentuk grasi, tahap hak yang dimiliki Presiden untuk memberikan pengampunan kepada terdakwa.
Agung, Koordinator kuliah lapangan memberikan pendapatnya,”Saya membayangkan sejak awal, Pulau Nusakambangan itu tandus, gersang tempat yang seram untuk narapidana yang menjalani hukuman berat, setelah sampai di sini, melihat pulau Nusakambangan yang alamnya masih asri dan bisa berinteraksi dengan narapidana pidana mati serta mengetahui kenyataan kehidupan narapidana di dalam penjara”.
Ditambahkan oleh Eko ,”Ini merupakan pengalaman yang sangat luar biasa bagi saya, mendapat pengetahuan lapangan berkaitan dengan psikologi kriminologi yang tidak didapat dari perkuliahan di kelas dan merubah cara pandang saya tentang Nusakambangan yang selama ini diberitakan sangat ngeri untuk eksekusi mati ”.
Setelah kuliah lapangan selesai, kami meninggalkan Lapas Batu, mengelilingi pulau Nusakambangan, termasuk ke pantai tempat untuk latihan pasukan elit Indonesia, Kopassus. Kuliah lapangan berakhir di pelabuhan Sodong, tempat feri berada untuk mengantarkan kami kembali ke Cilacap (Fijai Murdiono-Mahasiswa Fakultas Psikologi Semester 5).